MANADO-Presiden Prabowo Subianto dalam acara Ulang Tahun Golkar ke 60 di Sentul International Convention Center (SICC) sebagaimana disampaikan TEMPO telah mewacanakan Pilkada dilakukan oleh DPRD, lantaran Pilkada 2024 baru-baru ini dinilai boros dan rawan konflik sosial. Pilkada telah menguras puluhan triliun APBN. Presiden memberi contoh dari negara tetangga seperti Singapura dan India.
Wacana yang digelindingkan Ketua Umum Gerindra itu mendapat beragam reaksi dari berbagai kalangan. Mendagri Tito Karnavian mendukung dengan argumentasi yang dititikberatkan pada stabilitas sosial. Direktur LSI, Djayadi Hanan sebaliknya menilai usulan Prabowo bertentangan dengan Sistem Politik di Indonesia, yang bukan menggunakan sistem parlementer. Peneliti PERLUDEM (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi), Fadli Rahmadhanil menilai pemikiran itu cacat sistem.
Mencermati pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Sitaro 2024 yang menelan anggaran 40 miliar rupiah, dinamika Pilkada berlangsung dalam situasi dan kondisi yang mencekam, karena adanya intervensi APH, keberpihakan ASN serta praktik politik uang dari masing-masing Paslon. Sebelumnya, Pemilu 2024 telah menghasilkan 10 kursi bagi PDI Perjuangan, 4 kursi bagi Golkar, 3 kursi bagi Perindo, 2 kursi bagi Nasdem dan 1 kursi bagi Gerindra. Komposisi Pilkada terjadi koalisi Golkar, Nasdem dan Gerindra (7 kursi) mengusung Paslon 1 Chintya Kalangit dan Heronimus Makainas berhadapan dengan koalisi PDI Perjuangan dan Perindo (13 kursi) yang mengusung Evangelian Sasingen dan Liem Hong Eng.
Bilamana Pilkada 2024 lalu menggunakan sistem sebagaimana usulan Prabowo, maka jelaslah hasilnya berbeda dengan Pilkada Langsung. Dampaknya pun tidak akan menimbulkan gesekan dalam birokrasi pemerintahan daerah. Dengan demikian jelaslah bahwa pemikiran Presiden Prabowo untuk melakukan evaluasi dan perubahan sistem Pilkada mendorong terjadinya hasil simultan dari Pemilu. (Dirno Kaghoo).