Dari perenungan panjang tentang hakikat keberadaan manusia Sangihe di tengah dunia yang terus bergerak, tidak berangkat dari teks-teks klasik yang kaku, melainkan dari pengalaman manusia yang hidup—yang merasakan, berpikir, dan akhirnya memahami. Kepribadian manusia Sangihe: “Mateleng–Matelang–Mateling” bukan hanya sebuah teori tentang pertumbuhan kesadaran, tetapi sebuah cara memahami kehidupan sebagai perjalanan yang utuh: dari mendengar, memahami, hingga menjadi. Jadilah Filsafat.
Pertanyaan mendasar adalah: mengapa manusia ada?
Pertanyaan ini telah mengisi pikiran manusia sejak kesadaran pertama muncul di dalam dirinya. Namun jawaban atasnya tidak bisa ditemukan dalam sekali dengar atau sebaris kutipan. Ia hanya bisa ditemukan melalui pengalaman hidup, dan pengalaman itu sendiri terbentuk dari kesadaran yang bertumbuh.
Manusia tidak hadir di dunia ini dalam keadaan sempurna. Ia hadir sebagai makhluk yang belajar: dari suara ibunya, dari teguran gurunya, dari penderitaan hidup, dan dari keheningan batinnya sendiri. Dari semua itu, terbentuklah suatu pola kesadaran yang berkembang bertahap dan terus bergerak—tidak linier, tetapi berputar dan naik seperti spiral.
Filsafat ini menamai tiga tahap kesadaran itu sebagai:
- Mateleng: Tahap kepekaan dan kepatuhan awal.
- Matelang: Tahap kekuatan akal dan pembeda.
- Mateling: Tahap kematangan jiwa dan kebijaksanaan luhur.
Tiga tahap ini bukan sekadar usia, tetapi struktur batin manusia, yang menyentuh seluruh bidang kehidupannya—dalam bahasa, dalam tindakan, dan dalam kepercayaannya kepada yang transenden. Bersama-sama, ketiganya membentuk segi tiga kesadaran: bentuk yang seimbang, mengakar pada dunia, dan terbuka pada langit.
1. Mateleng: Tahap Kepekaan dan Kepatuhan
Mateleng adalah tahap awal dari kesadaran manusia. Ia tumbuh sejak manusia pertama kali membuka inderanya—terutama pendengaran. Pada tahap ini, manusia belum menghakimi, belum menilai, hanya menerima dan meresap.
Di sinilah tumbuh kepekaan batin: dari suara ibu, dari desahan alam, dari irama kehidupan. Mateleng adalah tanah tempat benih kesadaran ditanam, dan benih itu tumbuh dalam bentuk kepatuhan—bukan karena takut, tetapi karena percaya dan merasa aman.
Simbol dari Mateleng adalah:
- Warna Putih – lambang kemurnian dan penerimaan.
- Gunung atau Daratan – tempat manusia pertama kali berpijak dan belajar dari ketenangan.
- Aditinggi, Dewa Gunung – penjaga ketenangan dan pembentuk struktur awal jiwa.
2. Matelang: Tahap Rasionalitas dan Keberanian
Setelah manusia belajar menerima, ia mulai membedakan. Matelang adalah masa ketika akal mulai tajam. Ia tidak lagi hanya mendengar, tetapi juga mempertanyakan. Tidak lagi hanya meresap, tetapi juga memilih.
Matelang adalah kesadaran yang berani menolak, yang menguji, dan yang menantang. Di tahap ini lahir rasionalitas, logika, kritik, dan bahkan kemarahan terhadap ketimpangan. Namun Matelang bukan pemberontakan semata, melainkan usaha untuk memahami dunia secara sadar.
Simbol dari Matelang adalah:
- Warna Merah – lambang keberanian, konflik, dan vitalitas.
- Laut atau Perairan – tempat manusia mengarungi ketidakpastian dan bahaya.
- Mawendo, Dewa Laut – penjaga keberanian, konfrontasi, dan kebenaran yang dicari dengan susah payah.
3. Mateling: Tahap Kebijaksanaan dan Martabat
Tahap ketiga adalah puncak dari kesadaran. Di sinilah manusia tidak lagi bertarung dengan dunia, tetapi berdamai dengannya. Mateling bukan sekadar tua secara umur, tetapi matang secara jiwa.
Di tahap ini, manusia menjadi bijak: tidak tergesa, tidak memaksakan, tetapi memiliki pengaruh yang dalam dan tenang. Ia tidak perlu menunjukkan kekuasaan, karena wibawanya sudah menyatu dalam tutur dan tindak. Ia tidak menolak kehidupan, tetapi menerimanya sebagai misteri yang layak dihormati.
Simbol dari Mateling adalah:
- Warna Kuning Keemasan – lambang kebijaksanaan, cahaya dalam, dan martabat tinggi.
- Langit atau Ruang Atas – tempat roh-roh besar bersemayam dan kebenaran hakiki bersinar.
- Genggona Langi, Dewa Langit – penjaga kebijaksanaan, ketenangan, dan transendensi.
Ketiga tahap ini membentuk segi tiga kesadaran manusia: dari akar (Mateleng), ke keberanian dan gerak (Matelang), hingga kematangan dan cahaya (Mateling).
Dari mendengar, menuju memahami, dan akhirnya menjadi.
Ingin mendapatkan buku ini? Klik disini.