Makna Natal yang sejati tak pernah salah. Yakni “damai di bumi” – lebih dari sekadar “damai di hati”.
Tapi dunia kini terasa masih berjalan seperti sedia kala. Di balik kekenesan abad digitalisasi, tikai-pangkai masih saja bersimerajalela. Pembantaian, diskriminasi, korupsi, perdagangan orang, pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan antipoda makna Natal yang sejati.
Sekali peristiwa terjadi di istana Herodes Agung, sekian masa selahirnya Yesus, seturut catatan Penginjil Matius. Di istana megah itu, berita-sukacita Natal yang disampaikan oleh para Majus berubah menjadi kabar buruk bagi Herodes Agung. Tepatnya kabar makar. Maklum, Herodes Agung adalah Raja Israel, sementara Yesus yang lahir itu adalah Sang Mesias.
Herodes tentu sadar, betapa pentingnya sosok Mesias dalam pengharapan politik bangsa Israel. Yesus lahir tatkala bangsa ini hidup dalam cengkeraman penjajah Romawi, sehingga kelahiran Sang Mesias dimaknai sebagai ancaman bagi kekuasaan Herodes.
Herodes tentu juga sadar, bahwa bangsa Israel tak menyukainya. Selain karena ia seorang Edom, juga karena ia raja yang lalim dan menuntut disembah selayak dewa. Tambahan pula, meski bergelar “agung”, ayah Arkhelaus, Herodes Antipas, dan Pilipus ini sesungguhnya hanya sekelas kacung atau boneka Kaisar Romawi. Maka dapat dimengerti jika oleh keterancaman itu, Herodes kemudian berencana untuk membunuh Yesus.
Demi memuluskan rencana jahatnya itu, Herodes menyuruh para Majus untuk menjumpai Yesus di Betlehem dan meminta mereka untuk mengabarinya, karena ia pun ingin menyembah Dia. Tapi, Allah menggagalkan rencana jahat Herodes itu, dengan melarang para Majus, agar tak kembali kepada raja yang lalim ini.
Kisah selanjutnya, sebagaimana Penginjil Matius tulis, Herodes murka. Ia melampiaskan murkanya itu dengan memerintahkan pembunuhan seluruh anak di Betlehem dan sekitarnya, tepatnya seluruh anak yang berumur dua tahun ke bawah. Targetnya jelas: membunuh Yesus.
Kisah Natal dalam jepretan “kamera” literasi Penginjil Matius memang ditandai dengan penegasian terhadap hakikat “damai sejahtera” oleh manusia yang tak berkenan kepada-Nya. Eksesnya, gemerlap lilin perayaan Natal seolah redup dan padam oleh dominannya warna gelap yang hadir dari dunia yang gemar dengan pertumpahan dan penumpahan darah.
Makna sejati Natal, yakni “damai di bumi”, sekali lagi, tak pernah salah. Tapi wujud kebenaran ini, tak cukup hanya diperkatakan lewat cara apa pun. “Damai di bumi” adalah kondisi ideal yang hanya mungkin tercipta dengan laku-hidup setiap orang yang berkenan kepada-Nya. (Sofian Lawendatu).