Dalam beberapa pekan terakhir, grup-grup media sosial lokal, khususnya Publik Sitaro, dipenuhi keluhan dan kekecewaan warga terhadap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah. Mulai dari pembongkaran tugu “I Love Sitaro” hingga perekrutan tenaga honorer yang sarat dugaan moral hazard. Yang lebih memprihatinkan, suara-suara ini datang bukan hanya dari oposisi, tetapi dari masyarakat biasa yang mulai resah.
Tugu yang Membungkam Nalar Publik
Pembongkaran tugu lama dan pembangunan tugu baru “Sitaro Masadada” dengan dana Rp400 juta memunculkan pertanyaan yang sah: di tengah seruan efisiensi, untuk siapa proyek ini sebenarnya? Ketika anggaran pendidikan, kesehatan, dan pertanian masih butuh perhatian serius, pembangunan tugu monumental yang terkesan simbolik seharusnya bukan prioritas. Lebih ironis lagi, proyek ini dikaitkan dengan dugaan pembagian proyek kepada tim sukses. Jika benar, maka tugu itu bukanlah monumen kebanggaan, melainkan lambang kemunduran akal sehat dalam birokrasi.
Pelayaran yang Tak Lagi Netral
Diskriminasi terhadap truk milik warga yang diasosiasikan dengan tokoh politik tertentu memperlihatkan bagaimana ranah ekonomi mulai dicemari urusan politik balas budi. Di sebuah wilayah kepulauan seperti Sitaro, akses logistik adalah urat nadi kehidupan. Ketika perusahaan pelayaran diduga bermain dalam politik identitas, maka netralitas pelayanan publik telah dirusak.
THL dan Panggung Nepotisme
Dirumahkannya sejumlah THL padahal sudah dianggarkan dalam APBD 2025, dan kemunculan nama seorang perempuan yang diduga memiliki hubungan personal dengan pejabat daerah dalam struktur THL, mengindikasikan betapa birokrasi mulai dijalankan berdasarkan kedekatan, bukan kapasitas. Apakah jabatan publik kini menjadi alat pemuas relasi pribadi? Jika benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi peringatan keras bahwa moral administrasi kita sedang runtuh.
Anak Sekolah Korban Panggung Politik
Yang paling memilukan adalah kabar pengerahan siswa SD dan SMP dalam acara peresmian tugu, yang bertepatan dengan jadwal ujian akhir. Anak-anak yang seharusnya fokus pada pendidikan justru dijadikan pelengkap panggung seremoni politik. Apakah masa depan anak-anak Sitaro tak lebih penting daripada citra sesaat?
Seruan untuk Pemerintahan yang Waras
Saya menyerukan kepada pemerintah daerah untuk:
- Menghentikan proyek-proyek simbolik yang tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
- Menjamin netralitas dan profesionalisme seluruh layanan publik, termasuk transportasi dan logistik.
- Melakukan audit terbuka terhadap proses rekrutmen THL dan transparansi anggaran.
- Menghargai dunia pendidikan dan tidak menyeret anak-anak ke dalam agenda politik atau seremoni formal.
Pemerintahan bukan soal menebar slogan dan membangun tugu. Pemerintahan adalah tentang memelihara keadilan, menjaga moral birokrasi, dan membela masa depan rakyat – terutama anak-anak. Mari kita jaga akal sehat, sebelum simbol-simbol itu sepenuhnya mengubur nurani publik.